Selasa, 15 November 2011

KEAMANAN PANGAN DI INDONESIA
A. LATAR BELAKANG
Masuknya daging ilegal dari India, berbagai kejadian keracunan makanan katering, tingginya residu pestisida pada produk-produk agroindustri, issue tentang pertanian transgenik dan terakhir adalah issue tentang formalin dan boraks, menandai adanya suatu permasalahan dalam sistim keamanan pangan di Indonesia.
Idealnya pangan yang beredar harus aman, bermutu, dan bergizi. Karena pangan sangat penting bagi pertumbuhan, pemeliharaan, dan peningkatan derajat kesehatan serta kecerdasan masyarakat. Masyarakat perlu dilindungi dari pangan yang merugikan dan membahayakan kesehatan.
Upaya untuk mewujudkan keadaan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan yang menggariskan hal-hal yang diperlukan untuk mewujudkan pangan yang aman, bermutu, dan bergizi. Pada peraturan tersebut juga ditetapkan bahwa tanggung jawab dan hak setiap pihak yang berperan sebagai pilar pembangunan keamanan pangan adalah pemerintah, pelaku usaha pangan, dan masyarakat konsumen. Namun adanya PP Nomor 28/ 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan belum cukup untuk mewujudkan pangan yang aman, bermutu, dan bergizi karena luas dan kompleknya permasalahan yang di hadapi di lapangan.
Terdapat beberapa faktor yang diidentifikasi mempengaruhi keamanan pangan di Indonesia yaitu: sistem pangan, sosial budaya, mata rantai teknologi makanan, faktor lingkungan, aspek nutrisi dan epidemiologi.
B. PEMBAHASAN
Pangan yang dikonsumsi secara teratur setiap hari tidak hanya sekedar memenuhi ukuran kuantitas saja namun juga harus memenuhi unsur kualitas. Unsur kuantitas sering dikaitkan dengan jumlah makanan yang harus dikonsumsi, yang bagi sebagian orang hanya berfungsi 'untuk mengganjal perut'. Bagi mereka, ukuran cukup mungkin adalah kenyang, atau yang penting sudah makan. Sedangkan ukuran kualitas adalah terkait dengan nilai-nilai intrinsik dalam makanan tersebut seperti keamanannya, gizi dan penampilan makanan tersebut.
Sementara itu dengan mudah kita dapat menjumpai kelompok masyarakat lain yang lebih beruntung, mampu, dan berkesempatan untuk memilah dan memilih pangan yang akan dikonsumsinya. Mereka bisa mempertimbangkan faktor-faktor keamanan, mutu, dan gizi yang terkandung dalam pangan tersebut. Bahkan, ada dari antara mereka yang memilih karena alasan 'gengsi', pergaulan, kepuasan batin, dan alasan-alasan lain yang tidak terkait dengan fungsi utama pangan bagi tubuh. Dengan demikian dasar pertimbangan untuk memilih pangan akan bervariasi tergantung keadaan ekonomi, pengetahuan dan kesadaran masing-masing orang tentang pangan. Mungkin ada yang mengutamakan keamanan, yang lain mensyaratkan keamanan, mutu dan gizi. Bahkan, saat ini berkembang iklim yang menempatkan pangan sekaligus sebagai pencegah atau obat berbagai penyakit.
Beberapa indikator dapat digunakan untuk menunjukkan bahwa suatu pangan tidak aman. Tanda-tanda yang mudah ditemukan antara lain berbau busuk atau tengik, terdapat kotoran berupa kerikil, potongan kayu atau kaca atau terdapat belatung. Namun, masih ada bahan-bahan lain yang tidak kasat mata yang dapat menyebabkan pangan berbahaya bagi kesehatan, yaitu mikroorganisme misalnya virus atau bakteri serta racun yang dihasilkannya, yang mungkin terdapat pada sayuran, susu, kacang tanah, daging, ikan dan lain-lain.
Beberapa permasalahan keamanan pangan di Indonesia adalah :
1. Food System (Sistim Pangan)
Sistim pangan yang dimaksud adalah rangkaian kegiatan yang dimulai dari produksi, proses, penyiapan, distribusi dan konsumsi bahan pangan. Di dalam sistim ini terkait beberapa sub sitem antara lain:
Low income rural system, yaitu suatu sistem pengelolaan pangan yang terbentuk karena
rendahnya pendapatan masyarakat pedesaan. Permasalahan umum yang ditemukan antara
lain:
a. Kebanyakan kontaminasi berasal dari bahan mentah yang mengandung spora dari
mikroorganisme seperti clostridium dan bacillus
b. Kontaminasi melalui penggunaan air yang tidak bersih untuk menyiram atau mencuci
tumbuhan/tanaman sayur
c. Praktek pengelolaan pangan yang tidak baik pada saat persiapan, pengolahan dan
penyajian. 
 
Low income urban system yaitu suatu sistem pengelolaan pangan yang terbentuk karena
rendahnya pendapatan masyarakat di perkotaan. Permasalahan umum yang ditemukan antara
lain:
a. Kebanyakan kontaminasi berasal dari bahan mentah yang mengandung spora dari
mikroorganisme seperti clostridium dan bacillus
b. Pertumbuhan dari pasar yang terpusat sebagai distribusi utama pangan dari pedesaan ke
perkotaan
c. Perkembangan sejumlah pemrosesan dan penyiapan makanan di dalam atau di luar rumah
dan kebanyakan diprodukasi dalam skala kecil.
d. Sistem retail kepada skala kecil penjualan, serta penjualan dengan jumlah kecil suatu
bahan mentah, bahan yang telah diproses atau makanan siap saji.
High income system, yaitu suatu sistem pengelolaan pangan yang terbentuk pada golongan
masyarakat yang berpenghasilan tinggi. Permasalahan umum yang ditemukan antara lain:
a. Sejalan dengan peningkatan pendapatan, maka orang cenderung untuk mengurangi waktu
mereka dalam menyiapkan makanan.
b. Dimilikinya teknologi dan tempat menyimpan pangan
c. Kemungkinan terjadinya kontaminasi silang antara bahan mentah dan matang yang bersama-sama disimpan, kurang sesuainya suhu penyimpanan dan cara masak yang kurang tepat.
Antisipasi berbagai permasalahan sistem pangan tersebut adalah memperbaiki
pengelolaan pangan dengan 6 (enam) prinsip sanitasi makanan yaitu :
a. Sumber bahan pangan
Untuk mendapatkan bahan makanan yang terhindar dari pencemaran maka sanitasi sumber ini haruslah dipelihara dengan baik. Ambillah contoh daerah pertanian misalnya , hendaknya dihindari pemakaian insektisida yang dapat meracuni bahan makanan atau pemakain pupuk kotoran manusia pada sayur – sayuran yang dimakan mentah .
b. Penyimpanan bahan makanan
Bahan makanan sangat penting dalam penyimpanannya terutama pada jenis bahan makanan yang rawan busuk . Faktor yang sangat berpengaruh adalah suhu dan kelembaban .
c. Pengolahan makana
Makanan diolah di dapur , disini sanitasinya harus pula diperhatikan dengan baik . Untuk makanan yang dimakan mentah perlu dilakukan pencucian yang baik dan benar agar parasit atau kotoran yang melekat pada sayuran tersebut hilang .
d. Pengangkutan makanan
Makanan yang berasal dari tempat pengolahan memerlukan pengangkutan untuk disimpan atau disajikan . Kemungkinan pengotoran terjadi sepanjang pengankutan bila cara pengangkutannya kurang tepat dan alat angkutnya kurang baik dari segi kualitasnya
e. Penyimpanan makanan yang telah diolah
Dalam penyimpanan makanan yang telah diolah soal sanitasinya harus pula diperhatikan
seperti tudung saji , dimasukkan dalam lemari , agar terhindar dari pencemaran bakteri .
f. Penyajian makanan
Sanitasi ketika penyajian makanan ini perlu pula diperhatikan dengan baik agar dapat
menambah selera makan .
2. Socio Cultural
M. Khumaidi (1994, hal.30) menyatakan bahwa kebutuhan untuk makan bukanlah satu-satunya dorongan untuk mengatasi rasa lapar, akan tetapi disamping itu ada kebutuhan fisiologis dan psikologis yang ikut mempengaruhi. Setiap kelompok mempunyai suatu pola tersendiri dalam memperoleh, menggunakan dan menilai makanana yang akan merupakan ciri kebudayaan dari kelompok masing-masing.
Pada beberapa masyarakat, makanan memegang peranan penting dalam peristiwa-peristiwa sosial atau keagamaan dalam kehidupan manusia. Menghidangkan makanan merupakan suatu simbol dari suatu persaudaraan, kekeluargaan, penerimaan dan kepercayaaan
Peralatan dapur, jenis bahan bakar, lamanya waktu yang dipergunakan kaum wanita bekerja di dalam dan di luar rumah akan mempengaruhi susunan makanan yang diberikan (M.Khumaidi, hal.37).
Faktor sosial budaya yang lain yaitu kebiasaan yang secara spesifik memberikan dampak terhadap keamanan makanan seperti: jumlah makan dalam sehari, teknologi pengawetan yang tersedia, pandangan tentang makanan, kesehatan dan kesakitan, kebiasaan (tradisi) yang positif maupun negatif terhadap pangan.
Food Chain Technology
Pada masyarakat non industri, biasanya di daerah penggiran (pedesaan) sebagian besar mereka menghasilkan sendiri makanannnya. Pada pasar lokal makanan dijajakan dalam wadah yang terbuka, atau diletakkan saja di tanah sehingga terekspose debu dan lalat. Air yang kualitasnya buruk (air kali, saluran irigasi, dll.) kadangkala digunakan untuk menyegarkan jualan mereka saat dijajakan. Pengawetan dilakukan di rumah dimana kondisi kurang higienis, kadang pula makanan disiapkan dalam rentang waktu yang cukup lama untuk dimakan tanpa dimasukkan pendingin.
Pada masyarakat urban dan industri, makanan harus melalui jarak yang cukup jauh untuk sampai ke konsumen, karena letak sentra produksi pangannya di luar kota. Rantai makanan menjadi lebih komplek dan banyak tangan terlibat. Sebagian besar makanan diproduksi masal di kebun kemudian diolah di pabrik dan didistribusikan untuk lokal, nasional dan internasional.
4. Ecologycal Factor
Pencemaran kerang-kerangan oleh bahan kimia akibat buangan limbah ke laut/badan air seperti yang terjadi di Teluk Jakarta dan pantai Kenjeran Surabaya (Umar Fahmi, 1991) menjadi ancaman bagi konsumennya. Buruknya suplai air bersih, sanitasi lingkungan yang buruk dan pembuangan air limbah/tinja yang tidak memenuhi syarat akan berakibat timbulnya penyakit yang berbasis, air, makanan dan vektor (food borne disease,
water borne disease and vector borne disease).
5. Nutritional Aspect
Pada proses penyimpanan dan penyiapan makanan untuk dikonsumsi dapat terjadi degradasi nutrisi sehingga pemeliharaan dan pengembangan kualitas nutrisi yang diberikan merupakan komponen penting dari keamanan pangan. Pemakaian bahan tambahan makanan mempengaruhi kualitas nutrisi, demikian pula kontaminasi logam berat seperti timbal mempengaruhi absorpsi vitamin D dan Cd.
Disamping permasalahan di atas maka secara laten permasalahan keamanan pangan
juga terpengaruh oleh:
a. Tingkat Ekonomi Konsumen 
Masyarakat dari kelas ekonomi menengah ke atas akan menuntut produk olahan pangan yang bermutu baik meski harganya lebih mahal. Sebaliknya, kelompok masyarakat bawah akan mencari produk yang lebih murah sekalipun kerap diragukan tingkat keamanannya.
Contoh kasus adalah murahnya daging sapi impor ilegal. Pemerintah mengatakan agar masyarakat berhati-hati jika membeli daging sapi di pasar-pasar di Jakarta dan kota-kota lainnya karena beredar daging sapi impor ilegal yang dikhawatirkan mengandung penyakit mulut dan kuku? Apakah di balik praktik penyeludupan daging ilegal itu tak berlaku hukum ekonomi, yakni harga murah akan mendongkrak permintaan barang? Daging-daging sapi ilegal itu dijual dengan harga Rp 10.000 per kilogram, sementara di pasaran harga daging impor legal Rp 21.000 per kilogram. Bandingkanlah dengan harga daging lokal yang hampir empat kali lipat, yakni Rp 38.000 per kilogram.
Bukankah kemiskinan adalah pencetus perdagangan daging ilegal? Dengan daya beli masyarakat Indonesia yang masih rendah, daging produk India yang harganya relatif murah akan dapat dibeli oleh masyarakat dari lapisan menengah dan bawah.
Seiring dengan itu, dari sekian banyak faktor yang memengaruhi keamanan pangan, tingkat pendapatan masyarakat yang masih rendah, alias kemiskinan, menjadi mesin pendorong buruknya keamanan pangan di Indonesia. Hasrat untuk mengonsumsi daging sapi, guna memenuhi kecukupan protein hewani, merangsang masyarakat menengah dan bawah membeli daging ilegal itu meski tidak aman dikonsumsi. Dari sudut ini, keracunan pangan lebih kerap terjadi di tengah masyarakat berpendapatan rendah. Sebab, rendahnya daya beli mendorong mereka membeli makanan murah yang sering kali tidak memenuhi syarat mutu kesehatan dan keamanan. Ini membuktikan pemerintah belum sepenuhnya melindungi konsumen pangan karena membiarkan impor daging ilegal itu terjadi.
b. Pengetahuan Produsen dan Konsumen Tentang Produksi dan Pengawetan Makanan
Agenda keamanan pangan belum mampu diterjemahkan secara baik oleh pihak produsen maupun konsumen pangan. Rendahnya pemahaman terhadap keamanan pangan sering menghadirkan produk pangan katering yang berasal dari industri jasa boga menjadi penyebab keracunan. Dari pemberitaan kasus keracunan makanan di berbagai media massa, yang dilaporkan adalah yang menyerang sekelompok karyawan pabrik atau anak sekolah setelah mengonsumsi makanan yang dipesan dari pengusaha katering. Jika ditelusuri lebih
auh, ada tiga penyebab utama kasus keracunan makanan katering di Indonesia, yaitu penggunaan bahan mentah yang tercemar mikroba patogen karena terjadi kontaminasi silang, makanan didiamkan cukup lama sebelum dikonsumsi, dan proses pemanasan kembali yang tak cukup.
Dengan pemahaman yang memadai tentang teknologi pengawetan pangan, sesungguhnya ketiga masalah utama di atas bisa diatasi guna mengurangi risiko keracunan. Sayangnya, kebanyakan industri jasa boga masih berskala rumah tangga yang amat minim tenaga-tenaga terampil yang paham tentang teknologi pengolahan pangan. Dengan kondisi ini, kesiapan industri jasa boga kerap tak memadai untuk menerima pesanan dalam jumlah besar sehingga makanan katering acap dipersiapkan pada malam hari untuk dihidangkan saat makan siang pada hari berikutnya, sementara proses pemanasan kembali tak sempat dilakukan sebab jumlah makanan yang dipersiapkan terlalu banyak. Kondisi ini dapat menjadi media yang baik untuk pembentukan racun bakteri yang relatif tahan panas, seperti enterotoksin Staphylococcus aureus.
Beberapa alternatif penanganan keamanan pangan
a. Membentuk Jaringan Keamanan Pangan
Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya BPOM Prof Dr
Dedi Fardiaz

Tidak ada komentar:

Posting Komentar