Selasa, 15 November 2011

Penyebab kurang energi kronis KEK

Berbagai hasil kajian di Indonesia telah mengakui pentingnya peran seorang ibu dalam membentuk sumber daya manusia yang lebih berkualitas. Pengaruh ibu terhadap kehidupan seorang anak telah dimulai selama hamil, selama masa bayi dan berlanjut terus sampai anak memasuki usia sekolah. Pada waktu hamil gizi sangat penting untuk pertumbuhan janin yang dikandung. Gizi ibu hamil yang baik diperlukan agar pertumbuhan janin berjalan pesat dan tidak mengalami hambatan. Ibu hamil dengan keadaan kurang gizi yang kronis, mempunyai resiko yang lebih besar untuk melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), kematian saat persalinan, perdarahan, pasca persalinan yang sulit karena lemah dan mudah mengalami gangguan kesehatan (Depkes RI, 1996).
Status gizi ibu hamil merupakan salah satu indikator dalam mengukur status gizi masyarakat. Jika masukan gizi untuk ibu hamil dari makanan tidak seimbang dengan kebutuhan tubuh maka akan terjadi defisiensi zat gizi. Kekurangan zat gizi dan rendahnya derajat kesehatan ibu hamil masih sangat rawan, hal ini ditandai masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) yang disebabkan oleh perdarahan karena anemia gizi dan Kekurangan Energi Kronik (KEK) selama masa kehamilan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII yang berlangsung di Jakarta 17-19 Mei 2004 menyebutkan bahwa salah satu masalah gizi di Indonesia adalah bahwa masih tingginya Angka Kematian bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI) dan balita merupakan akibat  masalah gizi kronis (Moehji, 2003 : 14).
Angka kematian ibu dan angka kematian bayi di Indonesia tertinggi di Asia Tenggara. Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2007 Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia yaitu 228 per 100.000 Kelahiran Hidup, sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB) yaitu 32 per 1000 Kelahiran Hidup. Menurut data dari Bahan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BBKBN) Provinsi Lampung menyatakan Angka Kematian Ibu di Lampung masih tinggi, Dalam kurun waktu 3 tahun (2003-2005) AKI di Provinsi Lampung mencapai 321 kasus, sedangkan angka kematian bayi (AKB) berjumlah 844 kasus (Dinas Kesehatan Prov. Lampung, 2007).
Berdasarkan data Human Development Indeks (HDI) atau indeks pembangunan manusia tentang AKI di Provinsi Lampung berada pada level yang memprihatinkan. Seharusnya AKI di Lampung di bawah AKI rata-rata nasional karena target penurunan AKI nasional dari 262 menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2010. Sedangkan AKI di Lampung Timur pada tahun 2007 mencapai 21 per 100.000 Kelahiran Hidup (Dinas Kesehatan Kab. Lamtim, 2007).
Bila ibu mengalami kekurangan gizi selama hamil akan menimbulkan masalah, baik pada ibu maupun janin yang dikandungnya, antara lain : anemia, perdarahan dan berat badan ibu tidak bertambah secara normal, kurang gizi juga dapat mempengaruhi proses persalinan dimana dapat mengakibatkan persalinan sulit dan lama, premature, perdarahan setelah persalinan, kurang gizi juga dapat mempengaruhi pertumbuhan janin dan dapat menimbulkan keguguran, abortus, cacat bawaan dan berat janin bayi lahir rendah (Zulhaida, 2005).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kurang Energi Kronis (KEK) pada batas LILA 23,5 cm belum merupakan resiko untuk melahirkan Barat Badan Lahir Rendah (BBLR). Sedangkan ibu hamil dengan Kurang Energi Kronis (KEK) pada batas LILA < 23 cm mempunyai resiko 2 kali untuk melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang mempunyai Lingkar Lengan Atas (LILA) lebih dari 23 cm. Berdasarkan penelitian Rosmeri (2000) menunjukkan bahwa ibu yang memiliki status gizi kurang (kurus) sejak sebelum hamil mempunyai resiko lebih tinggi lagi, yaitu 4,27 kali untuk melahirkan bayi BBLR dibandingkan dengan ibu yang mempunyai status gizi baik (Lubis, 2003).
Status gizi ibu hamil dipengaruhi oleh berbagai faktor karena pada masa kehamilan banyak terjadi perubahan pada tubuhnya yaitu adanya peningkatan metabolisme energi dan juga berbagai zat gizi diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin yang ada dalam kandungannya. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah jumlah makanan, beban kerja, pelayan kesehatan, status kesehatan, pendidikan, absorbsi makanan, paritas dan jarak kelahiran, konsumsi kafein, dan konsumsi tablet besi (Soetjiningsih,1995: 103). Apabila dalam masa kehamilan tingkat status gizinya rendah, maka akan mengakibatkan kehamilan yang beresiko untuk mengurangi resiko tersebut dapat dilakukan dengan mengidentifikasikan faktor penyebab terjadinya status gizi buruk terutama Kurang Energi Kronik (KEK) (Lubis, 2003).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa prevalensi anemia pada kehamilan secara global 55 % dimana secara bermakna tinggi pada trimester ketiga dibandingkan dengan trimester pertama dan kedua kehamilan. Dan kebanyakan dari kasus tersebut karena ibu Kurang Energi Kronis (KEK) yang dapat menyebabkan status gizinya berkurang (WHO, 2002). 
Gambaran faktor2 penyebab kekurangan enrgi kronis
Status gizi ibu hamil dipengaruhi oleh berbagai faktor karena pada masa kehamilan banyak terjadi perubahan pada tubuhnya yaitu adanya peningkatan metabolisme energi dan juga berbagai zat gizi diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin yang ada dalam kandungannya (Soetjiningsih,1995: 103). Berdasarkan studi pendahuluan di Kabupaten Lampung Timur pada tahun 2008 angka kejadian Kurang Energi Kronis (KEK) sebesar 4,43 % dari 24.667 ibu hamil atau sejumlah 1.039 ibu hamil, untuk Puskesmas Wana Kecamatan Melinting pada bulan September tahun 2009 terdapat 8 ibu (13,79%) dari 58 ibu hamil yang mengalami Kurang Energi Kronis, dimana angka tersebut masih menunjukkan belum tercapainya target minimal yang ditetapkan untuk  Kabupaten Lampung Timur yaitu di bawah 10% (Puskesmas Wana, 2009).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran faktor-faktor penyebab Kurang Energi Kronis meliputi usia, pendapatan, paritas, dan pendidikan pada ibu hamil di Puskesmas Wana Kecamatan Melinting Kabupaten Lampung Timur Tahun 2009.
Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif, dengan populasi penelitian ini adalah ibu-ibu hamil dengan KEK sampai dengan bulan September pada tahun 2009 yang ada di wilayah kerja Puskesmas Wana Kecamatan Melinting Kabupaten Lampung Timur yang keseluruhannya dijadikan sampel yaitu sejumlah 58 orang ibu hamil. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis univariat berupa distribusi frekuensi dari tiap variabel penelitian yang dinyatakan dalam persentase.
Berdasarkan hasil pengolahan data maka diperoleh hasil bahwa gambaran faktor penyebab Kurang Energi Kronis pada ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Wana adalah dari faktor usia sebagian besar terjadi pada usia < 20 tahun (44,83%), dengan tingkat pendapatan keluarga yang rendah (50%), sebagian besar terjadi pada ibu dengan paritas primipara (50%), dan dengan tingkat pendidikan hanya sampai dengan pendidikan dasar (39,66%).
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa faktor penyebab Kurang Energi Kronis pada ibu hamil di wilayah kerja Puskesmas Wana dipengaruhi oleh faktor usia < 20 tahun, tingkat pendapatan rendah, paritas primipara, dan tingkat pendidikan yang hanya sampai pendidikan dasar.

Kata Kunci: Kurang Energi Kronis, ibu hamil

DAFTAR ISI
BAB I   PENDAHULUAN
B. Latar Belakang
C. Rumusan Masalah
D. Tujuan Penelitian
E. Manfaat Penelitian
F. Ruang Lingkup

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Gizi Ibu Hamil 8
1.  Kebutuhan Gizi Ibu Hamil
2.  Kecukupan Gizi Ibu Hamil
3.  Bahaya Kekurangan Gizi
4.  Kurang Energi Kronis
5.  Pengukuran Status Gizi
6.  Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keadaan KEK pada Ibu Hamil
B. Kerangka Teori
C. Kerangka Konsep
D. Variabel Penelitian
E. Definisi Operasional

BAB III METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
B. Populasi dan Sampel Penelitian
C. Waktu dan Tempat Penelitian
D. Pengumpulan Data
E. Pengolahan dan Analisis Data

BAB IV HASIL PENELTIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
2. Deskripsi Hasil Penelitian
B. Pembahasan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran

skripsi pola makan fas food


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Peningkatan tingkat kemakmuran di Indonesia diikuti oleh perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan dari masyarakat baik dalam keluarga maupun diluar rumah. Pola makan terutama di kota–kota besar, bergeser dari pola makan tradisional ke pola makan barat yang dapat menimbulkan mutu gizi yang tidak seimbang seperti fast food (makanan siap saji). Pola makan tersebut merupakan jenis-jenis makanan yang bermanfaat, akan tetapi secara potensial mudah menyebabkan kelebihan masukan kalori jika tidak dikonsumsi secara seimbang. Berbagai makanan yang tergolong fast food tersebut adalah kentang goreng, ayam goreng, hamburger, soft drink, pizza, hotdog, donat, ice cream, mie bakso dan lain-lain.
Tubuh memperoleh energi/kalori dari makanan yang dikonsumsi setiap hari. Untuk menjaga agar jangan terjadi defisiensi ataupun gangguan kesehatan lainnya, makanan yang dimakan haruslah sesuai dengan kebutuhan tubuh baik dalam jumlah kalori maupun komposisi zatnya. Kelebihan kalori yang terdapat dalam makanan yang dikomsumsi, terutama makanan yang banyak mengandung lemak, protein dan karbohidrat dapat menyebabkan terjadinya kegemukan atau obesitas.
Obesitas meningkatkan resiko kematian untuk semua penyebab kematian. Orang yang mempunyai berat badan 40% lebih berat dari berat badan rata-rata populasi mempunyai resiko kematian dua kali lebih besar dibandingkan orang dengan berat badan rata-rata (Lewd an Garfinkel, 1979).
Kenaikan mortalitas diantara penderita obesitas merupakan akibat dari beberapa penyakit yang mengancam kehidupan seperti diabetes tipe 2, penyakit jantung, penyakit kandung kemih, kanker gastrointestinal dan kanker yang sensitif terhadap perubahan hormon. Orang obes juga mempunyai resiko yang lebih besar untuk menderita beberapa masalah kesehatan seperti back pain, arthritis, infertilitas, dan fugsi psychososial yang menurun (Hadi, 2005).
Menurut Word Health Organization (WHO), angka kejadian obesitas di negara maju seperti di Amerika Serikat, Australia dan di negara-negara Eropa sangat tinggi. WHO memperkirakan sekitar 1,6 milyar orang dewasa di seluruh dunia menderita kelebihan berat badan, dan setidaknya 400 juta orang dewasa menderita obesitas (kegemukan).
Sebuah penelitian di Inggris tahun 2003 menyebutkan, dari seluruh negara Eropa yang paling banyak jumlah anak obesitasnya adalah Inggris. Anak-anak tersebut berusia 11-14 tahun. Dari hasil penelitian, 26% anak-anak obesitas sudah menunjukan beberapa faktor yang menjadi penyebab munculnya jantung koroner, seperti hipertensi, meningkatnya kadar kolesterol, dan kadar gula darah. Mayoritas anak-anak di Inggris mengkonsumsi makanan cepat saji.
Penelitian yang dilakukan di Kuwait pada remaja usia 10-14 tahun menunjukan bahwa sekitar 30-32% dari mereka mengalami kelebihan berat badan dan sekitar 13-15% obesitas. Sedangkan penelitian yang dilakukan di daerah Karibia menunjukan bahwa dari 1090 remaja usia 14-17% yang diteliti terdapat 13% yang kelebihan berat badan (Bardosono, 2005).
Data tentang obesitas di Indonesia belum bisa menggambarkan prevalensi obesitas seluruh penduduk. Survei nasional yang dilakukan pada tahun 1996/1997 di ibukota seluruh propinsi Indonesia menunjukan bahwa 8,1% penduduk laki-laki dewasa (≥ 18 tahun) mengalami overweight dengan Body Maks Indeks (BMI) 25-27 dan 6,8% mengalami obesitas, 10,5% penduduk wanita dewasa mengalami overweight dan 13,5% mengalami obesitas. Pada kelompok umur 40-49 tahun overweight maupun obesitas mencapai puncaknya yaitu masing-masing 24,4% dan 23% pada laki-laki dan 30,4% dan 43% pada wanita (Depkes, 2003).
Studi yang dilakukan pada tahun 2003 (Hadi, 2005) dengan melibatkan 4.747 siswa/siswi SLTP kota Yogyakarta dan 4.602 siswa/siswi SLTP Kabupaten Bantul ditemukan bahwa 7,8% remaja di Kota Yogyakarta dan 2 % remaja Kabupaten Bantul mengalami obesitas. Rata-rata asupan energi anak obesitas di Kota Yogyakarta adalah 2818,3 ± 499,4 kkal/hari sedangkan rata-rata asupan energi remaja non obesitas di Kota Yogyakarta adalah 2210,4 ± 329,8 kkal/hari. Dengan kata lain bahwa asupan energi remaja obesitas adalah 607,9 kkal/hari lebih tinggi dibandingkan remaja yang tidak mengalami obesitas.
Sampai dengan saat ini belum ada data nasional tentang obesitas pada anak dan remaja. Akan tetapi survei yang dilakukan akhir-akhir ini pada anak remaja siswa/siswi SLTP di Yogyakarta menunjukan bahwa 7,8% remaja di perkotaan dan 2% remaja di daerah pedesaan mengalami obesitas (Hadi, 2004).
Penelitian berikutnya yang dilakukan oleh program studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran UGM pada tahun 2005, dari 90.000 siswa SMP di Yogyakarta, sebanyak 10% mengalami obesitas atau kelebihan berat badan. Angka prevalensi obesitas diatas sudah merupakan peringatan bagi pemerintah dan masyarakat luas bahwa obesitas dan segala implikasinya sudah merupakan ancaman yang serius bagi masyarakat Indonesia khususnya di kota-kota besar.
Menurut Damayanti Rusli Syarif (Indonesia University, Jakarta), kejadiaan obesitas hanya 10% yang disebabkan oleh faktor genetika sedangkan yang sangat besar adalah faktor lingkungan. Lingkungan kita yang seperti sekarang ini sangat mendukung untuk terjadinya obesitas karena hampir seluruh restoran yang tersebar di seluruh kota kebanyakan menyediakan makanan cepat saji (fast food).
Fast food merupakan sumber protein dan lemak yang sangat baik, sebab kandungan kedua gizi ini cukup tinggi. Tetapi menu makanan yang sehat itu adalah seimbang dari segi jumlah dan kualitas. Lemak harus ada tapi tidak berlebihan, protein harus cukup tetapi tidak harus tinggi karena protein itu mahal dan protein lebih baik bila dikonsumsi dari berbagai sumber sehingga asam aminonya akan saling melengkapi dan dapat dimanfaatkan secara efisien (Anwar, 1994).
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada batasan masalah, maka masalah dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Apakah ada hubungan frekuensi makan fast food dengan kejadian obesitas pada remaja
2.      Apakah ada hubungan jumlah asupan zat gizi (karbohidrat, protein, lemak) dalam fast food dengan kejadian obesitas pada remaja

DISTRIBUSI DAN PENYAJIAN BAHAN MAKANAN


BAB I
PENDAHULUAN
A.   LATAR BELAKANG
Masalah sanitasi makanan sangat penting, terutama ditempat-tempat umum yang erat kaitannya dengan pelayanan untuk orang banyak. Rumah sakit merupakan salah satu tempat umum yang memberikan pelayanan kesehatan masyarakat dengan inti pelayana n medis. Agar dapat menunjang kegiatan pelayanan medis diperlukan tempat pengol ahan makanan yang kegiatannya berada di instalasi gizi rumah sakit. Untuk mendapatkan makanan yang bermanfaat dan tidak membahayakan bagi yang memakannya perlu adanya suatu usaha penyehatan makanan dan minuman, yaitu upaya pengendalian faktor yang memungkinkan terjadinya kontaminasi yang akan mempengaruhi pertumbuhan kuman dan bertambahnya bahan aditif pada makanan dan minuman yang berasal dari proses pengolahan makanan dan minuman yang disajikan di rumah sakit agar tidak menjadi mata rantai penularan penyakit dan gangguan kesehatan.
Fungsi utama rumah sakit (RS) adalah menyelenggarakan upaya penyembuhan dan pemulihan penyakit. Pengelolaan makanan RS, sebagai bagian dari sistem pelayanan kesehatan di RS YANG mendukung upaya penyembuhan dan pemulihan penyakit melalui penyelenggaraan makanan yang higienis dan sehat. Prinsip-prinsip dasar sanitasi penyelenggaraan makanan di RS pada dasarnya tidak berbeda dengan tempat-tempat penyelenggaraan makanan lain, tetapi standar kebersihan dan higiene pelayanan makanannya lebih tinggi karena rentannya pasien yang masuk RS dan ancaman penyebaran kuman pathogen yang tinggi di lingkungan RS.
Makanan yang tidak dikelola dengan baik dan benar dapat menimbulkan dampak negatif seperti penyakit dan keracunan akibat bahan kimia, mikroorganisme, tumbuhan atau hewan, serta dapat pula menimbulkan alergi. Terdapat 4 (empat) faktor yang memungkinkan terjadinya penularan penyakit di RS melalui makanan, yakni :
1.    Perilaku yang tidak higienis
2.    adanya sumber penyakit menular
3.    adanya media (makanan, minuman)
4.    dan resipienal.
Dalam tulisan ini hanya di kemukakan satu sisi saja, yakni perilaku petugas dalam penyehatan makanan di RS, yang meliputi kebiasaan cuci tangan, kebersihan tangan, penggunaan pakaian pelindung, dan pembersihan peralatan masak. Seperti diketahui peran dan perilaku tenaga pengolah makanan sangat berpengatuh terhadap kualitas makanan, sehingga baik secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap penyebaran penyakit.
B.   RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam makalah kami, antara lain:
1.      Bagaimana cara pendistribusian makanan di rumah sakit?
2.      Bagaimana cara penyajian makanan di rumah sakit?




BAB II
PEMBAHASAN
A.   DISTRIBUSI MAKANAN
Secara garis besar, pendistribusian dapat diartikan sebagai kegiatan pemasaran yang berusaha memperlancar dan mempermudah penyampaian barang dan jasa dari produsen kepada konsumen, sehingga penggunaannya sesuai dengan yang diperlukan (jenis, jumlah, harga, tempat, dan saat dibutuhkan). Dengan kata lain, proses distribusi merupakan aktivitas pemasaran yang mampu:
1.        Menciptakan nilai tambah produk melalui fungsi-fungsi pemasaran yang dapat merealisasikan kegunaan/utilitas bentuk, tempat, waktu, dan kepemilikan.
2.        Memperlancar arus saluran pemasaran (marketing channel flow) secara fisik dan non-fisik. Yang dimaksud dengan arus pemasaran adalah aliran kegiatan yang terjadi di antara lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat di dalam proses pemasaran. Arus pemasaran tersebut meliputi arus barang fisik, arus kepemilikan, arus informasi, arus promosi, arus negosiasi, arus pembayaran, arus pendanaan, arus penanggungan risiko, dan arus pemesanan.
Dalam pelaksanaan aktivitas-aktivitas distribusi, perusahaan kerapkali harus bekerja sama dengan berbagai perantara (middleman) dan saluran distribusi (distribution channel) untuk menawarkan produknya ke pasar.
Distribusi Makanan di Rumah Sakit
Pendistribusian makanan adalah kegiatan menyalurkan makanan yang telahdiproduksi yang telah diporsikan berdasarkan jumlah dan jenis diet pasien. Tujuan pendistribusian makanan adalah agar makanan yang telah diproduksi dapatdisalurkan ke pasien dan pegawai.
a.    Sistem Distribusi Makanan
Rumah Sakit LANUD Atang Sendjaja menggunakan sistem sentralisasikarena semua kegiatan produksi hingga pemorsian dilakukan di dapur. Makananyang telah diolah oleh juru masak kemudian diporsikan sesuai dengan jenis dietdan kelas perawatan. Sebelum dan saat pendistribusian dilakukan pengecekankembali oleh petugas distribusi agar tidak terjadi kesalahan pemberian makan.Saat pemorsian, petugas pemorsian menyesuaikan jenis diet dengan labelyang ada. Pelabelan dilakukan untuk mengurangi kesalahan dalam pemberianjenis diet dan kegiatan distribusi kepada pasien..
b.    Waktu dan Petugas Distribusi Makan Sore
Waktu distribusi dari makan sore antara pukul 16.30 – 17.00 dengan duaorang petugas distribusi. Makan sore memerlukan petugas distibusi yang lebihbanyak agar makanan dapat lebih cepat sampai pada pasien. Satu orang petugasdistribusi bertugas mengantar makanan untuk keperawatan depan (parkit, wallet,kutilang, kepodang, jalak, merak, sriti, pipit, gelatik, murai, anggrek, mawar,flamboyant, dahlia, melati serta paviliun). Sedangkan satu orang lain bertugasuntuk mengantarkan keperawatan belakang (garuda, kenari, rajawali,cendrawasih, nuri serta camar).Dalam hal distribusi makanan yang menjadi kendala adalah hilangnyapelabelan makanan pasien. Pelabelan makanan untuk pasien dilakukan agar bagian pemorsian dan distribusi tidak mengalami kesulitan pada waktumemorsikan makanan dan mendistribusikan makanan ke pasien.
c.    Peralatan Distribusi Makanan
Peralatan distribusi makanan adalah semua peralatan yang dapatmembantu kelancaran kegiatan distribusi. Peralatan yang digunakan untuk mendistribusikan makan adalah piring, mangkok, gelas, sendok, garpu, plato,nampan dan kereta dorong (trolley).
B.   PENYAJIAN MAKANAN
Penyajian makanan merupakan salah satu prinsip dari hygiene dan sanitasi makanan. Penyajian makanan yang tidak baik dan etis, bukan saja dapat mengurangi selera makan seseorang tetapi dapat juga menjadi penyebab kontaminasi terhadap bakteri. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penyajian makanan sesuai dengan prinsip hygiene dan sanitasi makanan adalah sebagai berikut:
1.      Prinsip wadah artinya setiap jenis makanan ditempatkan dalam wadah terpisah dan diusahakan tertutup. Tujuannya adalah
a.     Makanan tidak terkontaminasi silang
b.    Bila satu tercemar yang lain dapat diamankan
c.     Memperpanjang masa saji makanan sesuai dengan tingkat kerawanan makanan.
2.        Prinsip kadar air atinya penempatan makanan yang mengandung kadar air tinggi (kuah, susu) baru dicampur pada saat menjelang dihidangkan untuk mencegah makanan cepat rusak. Makanan yang disiapkan dalam kadar air tinggi (dalam kuah) lebih mudah menjadi rusak (basi)
3.        Prinsip edible part artinya setiap bahan yang disajikan dalam penyajian adalah merupakan bahan makanan yang dapat dimakan. Hindari pemakaian bahan yang membahayakan kesehatan seperti steples besi, tusuk gigi atau bunga plastk.
4.        Prinsip Pemisahan artinya makanan yang tidak ditempatkan dalam wadah seperti makanan dalam kotak (dus) atau rantang harus dipisahkan setiap jenis makanan agar tidak saling bercampur. Tujuannya agar tidak terjadi kontaminasi silang.
5.        Prinsip Panas yaitu setiap penyajian yang disajikan panas, diusahakan tetap dalam keadaan panas seperti soup, gulai, dsb. Untuk mengatur suhu perlu diperhatikan suhu makanan sebelum ditempatkan dalam food warmer harus masih berada diatas 600 C. Alat terbaik untuk mempertahankan suhu penyajian adalah dengan bean merry (bak penyaji panas)
6.        Prinsip alat bersih artinya setiap peralatan yang digunakan sepeti wadah dan tutupnya, dus, pring, gelas, mangkuk harus bersih dan dalam kondisi baik. Bersih artinya sudah dicuci dengan cara yang hygienis. Baik artinya utuh, tidak rusak atau cacat dan bekas pakai. Tujuannya untuk mencegah penularan penyakit dan memberikan penampilan yang estetis.
7.        Prinsip handling artinya setiap penanganan makanan maupun alat makan tidak kontak langsung dengan anggota tubuh terutama tangan dan bibir. Tujuannya adalah:
a.    Mencegah pencemaran dari tubuh
b.    Memberi penampilan yang sopan, baik dan rapi
Penyajian Makanan di Rumah Sakit
Penyelenggaraan makanan di rumah sakit sangat bergantung dari  higiene dan sanitasi agar makanan tersebut tidak menjadi sumber penularan penyakit bagi manusia yang mengkonsumsi makanan tersebut. pada kegiatan sanitasi makanan misalnya kebersihan bahan makanan yang diolah sebagai makanan untuk pasien rawat  inap yang ada di rumah sakit.
a.    Pengadaan Bahan Makanan
Kesehatan makanan selain ditentukan oleh proses pembuatan dan orang yang membuat makanan, juga dipengaruhi oleh bahan makanannya sendiri. Dalam pembuatan makanan dan pada penyelenggaraan makanan pada rumah sakit yang harus di perhatikan adalah bahan makanan harus dalam kondisi yang baik, tidak rusak, dan tidak membusuk. Setiap bahan makanan yang mengalami kerusakan, terutama kerusakan disebabkan mikrobiologis akan memberikan ciri-ciri menurut jenis bahannya. Meskipun demikian  terdapat cirri-ciri umum yang mencirikan perubahan komponen utama penyusun bahan  makanan. Dengan demikian, bahan makanan yang tinggi kandungan proteinnya akan  memiliki tanda kerusakan yang berbeda dengan bahan makanan yang tinggi kandungan  lemak atau karbohidratnya.
Ada 4 hal pokok yang harus diperhatikan dalam pengolahan makanan (Depkes RI, 2005) :
1.    semua kegiatan pengolahan makanan harus dilakukan dengan cara terlindung dan kontak langsung dengan tubuh.  
2.    Perlindungan kontak langsung dengan makanan jadi dapat dilakukan dengan menggunakan sarung tangan plastik, penjepit makanan, sendok garpu, dan sejenisnya.
3.    Setiap tenaga pengolah makanan pada saat bekerja harus memakai celemek/apron, tutup rambut, sepatu dapur, tidak merokok, tidak makan atau menguyah, tidak memakai perhiasan kecuali cincin kawin yang tidak berhias, tidak menggunakan peralatan dan fasilitas yang bukan untuk keperluan, selalu mencuci tangan sebelum bekerja, selalu mencuci tangan sebelum dan setelah keluar dari kamar mandi, selalu memakai pakaian kerja yang bersih yang tidak dipakai di luar rumah sakit.
4.    Tenaga pengolah makanan harus memiliki sertifikat vacsinasi chotypa dan baku kesehatan yang berlaku.
b.    Penyajian Makanan
Penyajian makanan harus memenuhi persyaratan sanitasi, yaitu bebas dari kontaminasi, bersih dan tertutup, serta dapat memenuhi kebutuhan diet pasien di rumah sakit. Adapun persyaratan penyajian makanan (PERMENKES no.1204 tahun 2004) adalah :
1.    Makanan harus terhindar dari bahan pencemar.
2.    Peralatan yang digunakan untuk menyajian harus terjaga kebersihannya.
3.    Makanan jadi yang siap saji harus ditempatkan pada peralatan yang bersih.
4.    Penyajian dilakukan dengan prilaku yang sehat dan prilaku yang bersih.
5.    Makanan yang disajikan dalam keadaan hangat di tempatkan pada fasilitas penghangat makanan dengan suhu minimal 60 °C.




BAB IV
PENUTUP
A.   KESIMPULAN
Pendistribusian makanan adalah kegiatan menyalurkan makanan yang telah diproduksi yang telah diporsikan berdasarkan jumlah dan jenis diet pasien. Tujuan pendistribusian makanan adalah agar makanan yang telah diproduksi dapatdisalurkan ke pasien dan pegawai.
Penyajian makanan harus memenuhi persyaratan sanitasi, yaitu bebas dari kontaminasi, bersih dan tertutup, serta dapat memenuhi kebutuhan diet pasien di rumah sakit. Adapun persyaratan penyajian makanan (PERMENKES no.1204 tahun 2004) adalah :
1.    Makanan harus terhindar dari bahan pencemar.
2.    Peralatan yang digunakan untuk menyajian harus terjaga kebersihannya.
3.    Makanan jadi yang siap saji harus ditempatkan pada peralatan yang bersih.
4.    Penyajian dilakukan dengan prilaku yang sehat dan prilaku yang bersih.
5.    Makanan yang disajikan dalam keadaan hangat di tempatkan pada fasilitas penghangat makanan dengan suhu minimal 60 °C.
B.   SARAN
Saran kami yaitu agar petugas rumah sakit bagian makanan selalu menjaga higien dan sanitasi dalam pendistribusian dan penyajian makanan buat pasien karena makanan yang baik dapat menunjang kesehatan masyarakat.